Rabu, 20 Mei 2020

Jenderal Soedirman, Kader Murni Pemuda Muhammadiyah

 


Panglima Soedirman merupakan kader murni Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wahyu Suryana

Panglima Besar Soedirman dan Muhammadiyah memang begitu lekat. Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir bahkan menyebutnya sebagai anak kandung dari Muhammadiyah.

Salah satu alasan terkuatnya jelas karena Soedirman merupakan kader murni Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Bahkan, Soedirman ikut membina kader-kader Hizbul Wathan dalam bela dan cinta Tanah Air.

Hizbul Wathan merupakan gerakan kepaduan cinta Tanah Air yang lahir sejak 1918. Artinya, ketika kalangan umat Islam kala itu belum mengenal pergerakan organisasi cinta Tanah Air dan kepanduan, Muhammadiyah sudah melahirkannya.

Di Hizbul Wathan, sosok jenderal berbintang lima itu termasuk pembina sekaligus aktivis. Dari sini, terdapat benang merah Soedirman memang lahir dari rahim pergerakan Muhammadiyah.

Soedirman sejak kecil memang hidup di lingkungan, keluarga, dan kader Muhammadiyah sejak di Cilacap. Karena itu, sosoknya memang sudah ada di dalam didikan sekolah mengaji metode Quran.

Madrasah diniyah jadi cara paling mudah memahami bentuk lembaga pendidikan yang menempa Soedirman tersebut. Sejak usia sangat muda, Soedirman menyerap dan mengaji di lembaga Muhammadiyah tersebut.

"Dari dua hal itu bisa kita simpulkan betapa kentalnya kaderisasi dan ideologi Muhammadiyah di dalam diri Soedirman," kata Haedar saat ditemui di kediamannya di Bantul, Jumat (11/1).

photo
Riwayat Hidup Jenderal Soedirman

Haedar melihat, Soedirman begitu memahami betul nilai-nilai pergerakan Islam Muhammadiyah itu. Sampai suatu saat beliau membawa sekelompok calon kader Hizbul Wathan ke Batu Raden, daerah pegunungan Wonosobo.

Di tengah suasana malam yang sangat dingin, Soedirman menggembleng anak-anak calon kader dan aktivis Hizbul Wathan itu. Tujuannya tidak lain agar mereka menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan YME.

Lalu, pemuda-pemuda itu harus menjadi orang yang mau berkorban untuk kepentingan umat dan bangsa. Proses pergumulan sejarah yang kental itu membuat Soedirman betul-betul memiliki karakter kuat.

Pertama, sebagai orang yang saleh dan zuhud. Kedua, kesalehan dan kezuhudan itu melahirkan pribadi yang kokoh pendirian, kuat prinsip, dan berani. Ketiga, sikap berani berkorban untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara melebihi dirinya.

Ini bisa dilihat ketika Soedirman memimpin perang gerilya kala dirinya sendiri sakit. Menurut Haedar, nilai-nilai luhur inilah yang menjadi kekuatan Soedirman dan para tokoh pergerakan Indonesia.

"Yang harus dijadikan rujukan nilai, bahkan menjadi role model generasi muda saat ini maupun para elite dan warga bangsa yang boleh jadi mengalami peluruhan nilai dari jiwa, pikiran dan cita-cita perjuangan para pendiri republik ini," ujar Haedar menegaskan.

Selain itu, bisa juga dipelajari bagaimana Soedirman menggerakkan rakyat. Jadi, sosoknya memang sangat layak menjadi panglima besar, pendiri TNI, dan teladan dalam perjuangan kemerdekaan.

Sebab, di usia muda saja, Soedirman sudah terpilih menjadi panglima perang karena kejujuran dan karakter kuatnya. Ini terbukti dari Soedirman yang selalu dipercaya dan menggerakkan orang banyak, bukan karena sifat-sifat kekuasaan.

Muhammadiyah, lanjut Haedar, betul-betul menjadi bagian dari pergerakan nasional yang Soedirman lakukan. Jadi, ketika perang gerilya, para tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta menggerakkan Angkatan Perang Sabil (APS).

APS, di DIY sampai Jawa Tengah, memobilisasi massa perlawanan terhadap penjajah yang kembali melakukan agresi ingin menancapkan kekuasaan. Jadi, kolaborasi Soedirman sebagai kader dan Muhammadiyah kuat sekali untuk bangsa dan negara.

Tidak mengherankan jika APS menjadi kekuatan militer Islam saat itu yang memang masif dan dicintai rakyat. Dari sini bisa dilihat, jika tanpa perang gerilya saat itu, mungkin Indonesia sudah selesai karena pemerintahan jatuh.

Lalu, ada pemerintah darurat oleh Syafruddin Prawiranegara, atas persetujuan Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, secara fisik, perlawanan Soedirman, seluruh kekuatan rakyat, termasuk APS di Yogya, jadi sinyal kuat kepada dunia.

"Sinyal kalau kedaulatan politik, kedaulatan Pemerintah Indonesia, masih eksis, di situlah Soedirman dan tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi martir bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia," kata Haedar.